Sejarah Cerpen Di Indonesia
Dalam catatan
sejarah kesusatraan Indonesia, cerpen Indonesia merupakan salah satu genre
sastra yang paling muda usianya jika dibandingkan dengan novel ataupun puisi.
Tonggak terpenting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai oleh
cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal tahun 1910-an, yang
memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan lucu. Sejak
saat itulah, di Indonesia mulai dikenal
bentuk penulisan cerita pendek (Horison
: 2002). Menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Tjerita Pendek Indonesia (1959) juga
menempatkan Muhammad Kasim dan Soesman Hs sebagai perintis cerpen Indonesia.
Ajip sendiri telah membuktikan pernyataannya tersebut dengan menelusuri
jejaknya bersumber dari majalah Pandji Poestaka yang terbit pada tahun 1923.
Majalah tersebut banyak memuat kumpulan cerita lucu M. Kasim.
Pada akhir abad
ke-19 sampai zaman Jepang hampir tidak ada cerpen yang dipublikasikan langsung
dalam bentuk buku. Ia muncul lewat penerbitan media massa. Sehingga dalam hal
ini, cerpen tidak dapat dipisahkan dari majalah dan suratkabar. Dari sanalah,
cerpen Indonesia lahir, berkembang dan memperoleh bentuk yang lebih jelas pada
tahun 1930-an. Pada zaman Jepang, cerpen menjadi makin populer ketika pemerintah
pendudukan Jepang banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Dari sejumlah
cerpenis waktu itu, A.S. Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar pernah
memenangi lomba penulisan cerpen. Beberapa nama lain yang karyanya banyak
muncul di media massa pada masa itu, antara lain, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan
D. Djokokoesoemo.
Pada tahun 1950-an,
cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya pengaruh asing, munculnya
semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang Sumatra, dan terbitnya berbagai
media massa, termasuk majalah Prosa dan Tjerita Pendek yang dikelola Ajip
Rosidi, memberi kesempatan munculnya cerpenis dari pelosok tanah air. Bersamaan
dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk berekspresi, mendorong keberanian
melakukan berbagai eksperimen. Oleh karena itu, tidaklah salah jika pernyataan
Jacob Soemardjo dalam esai Mencari Tradisi Cerpen Indonesia yang ditulis tahun
1975 menyebut bahwa tradisi penulisan cerpen mencapai masa suburnya sekitar
pada dekade 50-an. Ia menyatakan bahwa pada dekade 50-an merupakan zaman emas
produksi cerita pendek dalam sejarah sastra Indonesia, karena pada masa itulah
muncul pengarang dengan karya yang fenomenal seperti Riyono Pratikto, Subagyo
Sastrowardoyo, Sukanto SA, Nh Dini, Bokor Hutasuhut, Mahbud Djunaedi, AA Navis,
dan sederet nama lainnya. Pada cerpen tahun dekade 50-an temanya lebih banyak
condong pada agama yang tiba-tiba menjadi alat permainan. Eksplorasi pada
kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis digunakan sebagai sarana
menyampaikan eksperimen. Hal tersebut membuat parasaan si tokoh menjadi liar,
aneh, dan tak terduga.
Memasuki masa Orde
Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an, kondisi itu seperti berulang
kembali, bahkan jauh lebih luas pengaruhnya. Putu Wijaya, Danarto, dan Kuntowijoyo
menjadi tokoh yang sangat menonjol dalam deretan nama cerpenis waktu itu.
Karya-karya mereka seolah-olah begitu memukau dalam kemasan dunia
jungkir-balik. Realitas cerpen seperti hendak dikembalikan lagi pada hakikatnya
yaitu cerita. Maka, logika formal tidak berlaku di sana. Dibanding generasi
sebelumnya, cerpenis tahun 1970-an telah berhasil membangun estetikanya justru
sejak awal kemunculannya. Dengan estetikanya itu, mereka tetap bertahan sampai
kini. Jadi selain nafasnya panjang, cerpen karya Putu Wijaya seperti Bom (1978)
dan Tidak (1999), dengan karya Danarto seperti Goddlob, dan Setangkai Melati di
Sayap Jibril (2001) juga menawarkan estetika yang mengakar kokoh hingga dapat
bertahan lebih dari tiga dasawarsa. Oleh Korrie Layun Rampan cerpenis tahun
1970-an tersebut dimasukkan ke dalam kotak Angkatan 2000.
Dalam satu dasawarsa ini sendiri, cerpen Indonesia semakin mengukuhkan jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Hal tersebut semakin melengkapi penampang sejarah cerpen Indonesia untuk masa yang akan datang.
Dalam satu dasawarsa ini sendiri, cerpen Indonesia semakin mengukuhkan jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam mainstream-nya sendiri. Hal tersebut semakin melengkapi penampang sejarah cerpen Indonesia untuk masa yang akan datang.
J Catatan Kecil Dari
Aliin J
Hehe..
Sejarah lagi. Eh, tapi ini beda lho.. Kalau sejarah yang ini tentang “Cerpen”
(Cerita Pendek) yang di Tanah Air Kita Tercinta yaitu Indonesia. Wes, semoga
berguna buat mu dan dapat menambah wawasan mu again geh. Makasi buat blog yang
bolehin aku “Copas” yak ? Ini fotonya aku tambahin sendiri. Haha..
3 komentar:
Terimakasih sangat membantu :-D
iya, sama sama :)
makasih banyak, tante :)
Posting Komentar