GOOD BYE MY BEST FRIEND

Perkenalkan, aku Alinda Kusumawardani. Kalian bisa panggil aku Alin. Sekarang, aku berumur 14 tahun. Ini ceritaku, kira-kira aku masih berumur 8 tahun. Aku mempunyai seorang sahabat bernama Safira Azahra. Panggilan akrabnya Ira. Tapi, kalau di sekolah dia suka di panggil Safira. Kami sudah lama sekali kenal. Kira-kira aku masih belum sekolah sampai kelas 3 SD. Lama kan?

“Dek, minggu depan kita pindah,” Kata mamaku.

“Lho? Mau pindah ke mana mah?” Tanyaku dengan tampang polos.

“Ke Malang sayang,” Jawab mamaku.

“Ha? Dimana itu mah? Enak tinggal di Palembang aja lho mah. Gak usah pindah-pindah,” Pintaku dengan wajah yang masih lugu.

“Iya enggak bisa dek. Kan itu udah perintah dari kepala kantornya ayah,” Jelas mamaku.

“Terus Safira gimana mah?” Tanyaku dengan wajah murung.

“Iya, besok kamu kasih tau dia,” Kata mamaku menyarankan.

“Hem? Iya udahlah !” Jawabku sambil berlari masuk kamar.

“Ngapain coba? Pakek acara pindah ! Kan di sini enak, aku udah banyak temen,” Aku berbicara sendiri dikamar sambil melempar bantal-bantal di dekatku.

Esok paginya udara serasa sejuk di hati. Aku bergegas untuk bersiap-siap ke sekolah.

“Dek, kamu sarapan dulu sana,” Kata mamaku dari dapur belakang.

“Iya mah,” Jawabku sambil nonton TV.

“Yah ! Aku suapin yah,” Pintaku sambil mencari ayahku di halaman depan.

“Iya, tunggu. Ayah mau manasin motor dulu,” Jawab ayahku.

“Iya udah,” Balasku sambil balik lagi nonton TV.

“Dek, lauknya mau apa? Nasinya dikit apa banyak?” Tanya ayah pada ku.

“Terserah aja yah. Nasinya dikit aja,” Balasku yang masih asik sama TV.

Beberapa menit kemudian ayahku dateng.

“Sini lho, duduk. Masa makan sambil berdiri,” Kata ayah pada ku.

“Iya, yah,” Jawabku.

“Ngeng.. ngeng.. Pesawatnya mau masuk,” Kata ayahku sambil menyuapi nasi padaku.

“Yah, emang kita minggu depan mau pindah ke Malang?” Tanyaku sambil mengunyah nasi.

“Iya,” Balas ayahku singkat.

“Ngapain sih pindah ke Malang? Kan udah enak di Palembang yah,” Jelasku.

“Iya mau gimana lagi dek? Itu udah perintah dari kepala kantorny ayah,” Balas ayahku.

Tiba-tiba kakak ke dua ku dateng.

“Yah, aku dulangen juga,” Kata Mas Dika.

“Emboh ! Maemo sendiri sana lho,” Balasku tanpa ragu-ragu.

“Iyo gah seh,” Jawab Mas Dika.

“Wes, wes, maemo sendiri sana lho Dik? Tar adek mu gak selesai-selesai ini makane,” Kata ayahku.

“Curangi ! Masa Cuma ajeng (panggilan ku di rumah) aja yang di suapin?” Balas Mas Dika gak terima.

“Biarin !” Jawabku sambil melet-melet.

Udah selesai makan, aku segera berangkat ke sekolah. Sekolah ku deket dari rumah. Tapi, aku tetep aja minta di anter. Biasalah, anak manja ! Hehe.. Tapi, sebelum berangkat, aku gak lupa buat salim sama kedua orangtua ku.

“Mah ! Ajeng berangkat dulu iya,” Kata ku sambil mencium tangan mama.

“Iya, dek. Ati-ati iya di jal`n,” Balas mama ku.

“Yah, ayo berangkat,” Kata ku.

“Gak ada yang ketinggalan?” Tanya ayah ku.

“Enggak ada yah,” Jawabku.

“Iya udah ayo berangkat,” Kata ayah ku.

Mendengar kata-kata itu dari ayah, aku langsung naik ke sepeda motor yang di tumpangi ayah ku sebelumnya.

“Eh ! Jangan lupa? Kalau keluar rumah harus ngomong apa?” Tanya ayahku.

“Assalammualaikum..” Kata ku keras.

“Waallaikumsalam..” Jawab mama, Mas Dika dan Mas Dana dari dalam rumah.

“Nah, gitu,” Kata ayah sambil menjalankan motor.

Sampailah aku di sekolahan. Pelajaran berjalan lancar seperti biasa.

Pas pulang sekolah, aku gak pulang dulu. Aku main-main sama Safira sambil cerita-cerita.

“Saf, minggu depan aku pindah rumah,” Kata ku membuka pembicaraan.

“Lho? Pindah kemana emangnya Jeng?” Balas Safira dengan tampang kaget.

“Pindah ke Malang Saf,” Jawab ku dengan wajah tertunduk.

“Kok kamu baru ngomong sekarang sih !” Kata Safira dengan wajah gak menentu.

“Maaf, tapi aku juga baru di kasih tau kemaren Saf,” Jawab ku apa adanya.

“Hemm..” Geram Safira dengan wajah sedih.

Setelah pembicaraan yang singkat itu, kami berdua terdiam, tak ada satu kata apapun. Sampai mama Safira menjemput.

“Tet ! Tet !” Suara bel mobil mama Safira.

“Ra, ayo pulang,” AJak mamanya sambil membuka jendela mobil.

“Iya, mah,” Balas Safira masih dengan wajah sedihnya dan berjalan ke mobilnya sambil membuka pintu samping mamanya duduk.

“Lho? Ajeng belum pulang? Enggak di jemput sama ayah mu Jeng?” Tanya mamanya Safira.

“Enggak tante. Aku enggak minta ayah jemput tadi,” Jawabku dengan wajah polos.

“Iya udah. Sini masuk, tante anterin. Kan rumahnya kita searah, gak jauh-jauh juga kan?” Saran mamanya Safira.

“Enggak usah wes tante. Aku pulang jalan kaki aja, gak papa kok,” Balasku.

“Udahlah, enggak apa-apa. Bareng aja, tante anterin. Ra, ajak itu lho Ajeng. Dari pada kamu bengong di situ,” Kata mamanya Safira masih tetap pada ajakannya.

“Ayo Jeng. Kita pulang bareng,” Ajak Safira sambil memegang tanganku dan menariknya masuk ke dalam mobil.

Sampailah aku di depan rumah.

“Udah sampai ini Jeng,” Kata mamanya Safira member tau.

“Iya tante. Makasi iya,” Balas ku.

“Iya, sama-sama Jeng,” Jawab mamanya Safira.

“Saf, aku pulang dulu iya. Sampai ketemu besok di sekolah,” Sapa ku pada Safira.

“He`emb,” Jawabnya singkat sambil menoleh dari jok depan mobil dengan mata yang hamper meneteskan air mata.

“Maafin aku Saf,” Kataku dalam hati yang gak bisa lihat Safira kayak gitu.

Aku masuk halaman rumah melihat-melihat pemandangan yang ada di situ, rasanya sakit banget harus ninggalin tempat ini.

“Assalammuallaikum..” Aku membuka pintu rumah sambil memberi salam.

“Waallaikumsalam..” Jawab mama ku.

“Tadi di pulang sama siapa Jeng?” Tanya ayah ku.

“Tadi di anter mamanya Safira yah,” Jawab ku.

“Lho, kok gak kamu suruh mampir dulu Jeng?” Kata mama ku.

“Enggak kepikiran mah,” Jawab ku sambil masuk ke dalam kamar.

“Eh ! Ganti baju, cuci tangan, kaki, makan, terus sholat dulu sana ! Baru tidur,” Mama ku menyuruh ku.

“Iya mah..” Jawab ku dari dalam kamar.

Udah ngelakuin semua yang mama ku suruh, aku langsung tidur lelap di kamar. Tiba-tiba sorenya aku di bangunin. Rupanya, aku di suruh mandi. Mau di ajak jalan-jalan ke PTC.

“Jeng.. Bangun Jeng.. Ayo ke PTC !” Kata Mas Dika membangunkan ku.

“Nge? Iya,” Balas ku masih antara sadar dan gak sadar.

“Dik ! Aduso dikek kono,” Mas Dana nyuruh Mas Dika mandi duluan.

“Emoh ! Ajeng dikek ae,” Balas Mas Dika.

“Iya wes. Jeng ! Kamu mandio dulu sana lho, tar baru Mas Dika. Aku terakhir ae,” Kata Mas Dana.

“Ha? Emboh ! Kok enak?” Balas ku langsung sadar.

“Iyo ii. Kan yang lebih tua ngalah,” Mas Dika Menambahkan.

“Lha, iyo. Benerkan? Yang tua ngalah? Berarti kamu dulua Jeng,” Balas Mas Dana dengan tampang yang ngerasa menang.

“Emboh !” Aku masih gak mau ngalah.

“Mandi aja kok iya engkel-engkelan. Wes, Dil ! Kamu dulu sana yang mandi, baru adik-adik mu,” Ayahku melerai.

“Hahahahahahhaha… Kuapok !” Aku dan Mas Dika tertawa dengan wajah merasa menang.

“Oh, awas iyo,” Balas Mas Dana gak terima.

Udah selesai debat buat yang mandi duluan siapa. Sekarang tinggal aku sama Mas Dika yang belum mandi.

“Jeng, aku dulu iya yang mandi,” Kata Mas Dika.

“Gak ! Gak bisa ! Aku duluan pokoknya,” Balas ku gak mau ngalah.

“Lho? Siapa dulu, dia dapat !” Kata Mas Dika sambil berlari mengambi pakaian dan masuk kamar mandi.

Karena aku gak mau ngalah, aku juga ngelakuin hal yang sama kayak yang Mas Dika lakuin. Akhirnya kami berdua tepat di pintu kamar mandi desel-deselan buat masuk duluan. Tapi karena bentuk badan ku yang masih kecil, kurus dan tentunya imud-imud. Jadi bisa masuk duluan di kamar mandi. Dan dengan tampang yang masih gak bisa terima, dengan berat hati Mas Dika mengalah sama aku.

Selang beberapa jam, kami semua sudah selesai bersiap-siap. Dan tanpa basa-basi, kami berangkat ke Mall PTC !

“Hufs.. Gak kebayang iya, kalau harus ninggalin kota sebagus dan seindah ini,” Bisik ku dalam hati.

Gak kerasa banget, tiba-tiba udah di suruh turun dari mobil.

“Jeng, ayo turun ! Ngelamun aja,” Kata Mas Dana mengagetkan ku.

“Ha? Enak aja. Aku gak ngelamun kok. Cuma melamun,” Balas ku dengan wajah yang lucu.

“Halah, halah. Muka mu itu lho. Jangan sok imud,” Kata Mas Dana meledek ku.

“Biarin ! Ngomong aja sirik,” Balas ku sambil berlari menggandeng tangan mama ku.

Udah sampai di depan pintu masuk PTC, kami sekeluarga mencari tempat makan.

“Jeng, itu tempat makannya enak. Ngomongo ayah,” Mas Dika menghasutku.

“Oke !” Dengan tampang dan fikiran yang masih lugu banget aku ngikutin kata Mas Dika.

“Ayah, ayah.. Makannya di sana aja lho. Itu, itu.. Di AW !” Kata ku pada ayah.

“Halah, halah. Mesti di suruh Dika iki,” Kata Mas Dana.

“Hehe..” Mas Dika cengangas-cengingis aja.

Karena gak ada pilihan makanan yang lain. Kami sekeluarga jadi milih makan di AW. Udah pada selesai makannya, kami lanjut lihat-lihat tempat yang lain. Tiba-tiba, ada tulisan “Serba Rp 5000,-“. Karena udah di takdirin jadi perempuan, pasti bakal punya naluri buat belanja, apalagi dengan barang yang murah dan tentunya bagus aku sama mama langsung masuk buat lihat-lihat isinya.

Lalu aku melihat ada satu barang kecil, yang mengingatkan ku pada Safira.

“Boneka ini?” Batin ku.

“Mah, aku beli boneka ini dua iya? Satu buat aku, satunya buat Safira. Buat kenang-kenangan mah. Kan kita mau pindah,” Minta ku pada mama dengan wajah yang murung.

“Iya, Jeng. Ambilen aja,” Kata mama ku.

“Makasi mah !” Balas ku dengan senyuman yang lebar.

Esok paginya aku menjalani rutinitas seperti biasa. Belajar di sekolahan.

Pulang sekolahnya aku langsung menggandeng tangan Safira.

“Saf, besok sore ayo main-main ! Kan besok Minggu,” Ajak ku.

“Main ke mana Jeng?” Tanya Safira masih dengan tampang polosnya.

“Kerumah ku Saf. Sama aku mau ngasih kamu sesuatu,” Balas ku.

“Oke deh !” Jawab Safira dengan senyum manisnya.

“Eh ! Tapi, aku ke rumah mu dulu iya? Sambil jemput kamu juga. Terus kita main-main deh ke rumah ku,” Kata ku sambil mengajak Safira membeli makanan.

Sampailah aku di rumah yang gak mewah, namun nyaman dan tenang.

“Assalammuallaikum..” Aku masuk rumah sambil member salam.

“Waallaikumsalam..” Jawab orang di rumah.

“Lho, mah? Kok barangnya di beres-beresin?” Tanya ku heren yang melihat rumah ku hampir kosong karena sebagian barang sudah di kirim ke Malang.

“Iya kan lusa kita udah harus berangkat toh Jeng?” Mama ku menjelaskan.

“Ha? Cepet banget mah? Bukannya minggu depan?” Balas ku masih bingung.

“Lho? Senin kan udah minggu depan toh Jeng?” Jelas mama ku.

“Oh iya sih,” Jawabku dengan tampang gak menentu.

Setelah pembicaraan singkat itu, aku langsung masuk ke kamar.

“Iya Allah, cepet banget. Tiba-tiba aku harus pindah dari sini,” Aku berbicara sendiri di kamar sambil memeluk gulingku dan akhirnya meneteskan air mata.

Gak kerasa banget. Aku terbangun dari tidur ku tiba-tiba matahari udah menyilaukan mata ku.

“Jeng, itu barang mu di lihat itu, ada yang ketinggalan gak?” Tanya ayahku.

“Iya yah,” Jawab ku tapi aku gak pernah buka barang itu.

Sorenya Safira dateng ke rumah ku. Padahal aku baru aja mau ke rumahnya.

“Ajeng !” Panggil Safira dari depan rumah ku.

“Iya Saf,” Aku bergegas membukakan pintu dan mempersilakan dia masuk.

“Lho, ada Safira?” Kata ayahku.

“Hehe..” Tawa kecil dari bibir Safira.

“Ayo Saf, kita main-main di kamar ku aja,” Aku menggenggam tangannya dan mengajaknya masuk ke kamarku.

“Hemm.. Rumah mu udah ksong iya,” Kata Safira dengan wajah yang mulai murung.

“Hehehe.. Iya,” Tawa kecil ku menutupi kesedihan yang ku rasa.

“Gak kerasa banget iya. Tiba-tiba kamu harus pindah aja. Padahal aku masih seneng banget kalau kamu di sini,” Jelasnya jujur banget, kelihatan dari matanya.

“Hehe..” Aku hanya bisa tertawa kecil, gak kuat liat wajah sahabat ku ini.

“Saf, kalau kamu tau. Aku juga ngerasa hal yang sama kayak yang kamu rasain,” Batin ku dalam hati.

“Oh, iya Saf. Ini, aku ada sesuatu buat kamu,” Aku memberikan sebuah boneka dengan tampang penuh perasaan.

“Eh? Iya Jeng. Makasi banyak iya,” Balasnya pada ku sambil memeluk boneka yang ku berikan.

“Oh iya. Aku juga punya sesuatu lho buat kamu. Tapi ada di rumah ku Jeng?” Kata Safira.

“Iya udah ! Ayo kita kerumah mu,” Aku mengajak Safira dan menarik tangannya tanpa basa-basi aku langsung berpamitan sama ayah dan mama kalau aku mau main ke rumah Safira.

Kami berjalan penuh kegirangan, bergandengan tangan, dan bernyanyi-nyanyi sampai-sampai orang yang lewat di dekat kami keheranan.

“Jeng, bentar iya, aku buka gerbang dulu,” Kata Safira.

“Oke deh Saf !” Balas ku sambil mengangkat jempol tangan ku.

“Dah Jeng, ayo masuk,” Ajak Safira sambil menarik tangan ku.

“Bentar, kamu tunggu di sini. Aku mau ngambil sesuatu barang buat kamu,” Kata Safira.

“Iya, Saf,” Balas ku.

Selang beberapa waktu, dia nongol juga.

“Nih Jeng, buat kamu !” Safira memberikannya pada ku dengan senyuman yang sampai sekrang aku gak bisa lupa.

“Apaan ini? Kok d bungkus segala?” Jawab ku heran.

“Hahaha.. Biar kamu penasaran !” Balasnya dengan tampang jahil.

“Iya udah, aku buka sekarang,” Tangan ku sudah hampir menyobek bungkusan barang itu.

“Eh ! Main buka aja kamu Jeng? Gak boleh, kamu buka aja di ruma entar,” Jawab Safira.

“Oke-lah. Kalau begitu saya mohon pamit, sudah penasaran sama isi ini bungkusan,” Kata ku sok ngelucu.

“Hahahah.. Iya udah sana Jeng. Ati-ati iya di jalan,” Balas Safira pada ku.

“Sip-lah kalau itu. Dadaa..” Kata ku sambil melambaikan tangan dan berlari bergegas ingin sampai di rumah.

Pas aku sampai di rumah. Aku langsung masuk kamar ku dan membuka bungkusan yang di kasih Safira tadi. Isi bungkusan itu, rupanya sebuah botol minuman berwarna hijau. Sayangnya botol minum itu HILANG sekarang ! L

Besok paginya Safira tiba-tiba udah ada di rumah ku buat ngucapin salam perpisahan. Aku yang lagi sibuk beres-beres barangku.

“Jeng, kamu udah mau berangkat iya?” Tanya Safira dengan wajah tertunduk.

“Iya, Saf,” Jawab ku dengan wajah yang sedih.

“Aku, bakalan kangen sama kamu Jeng !” Kata Safira yang akhirnya menangis.

Karena aku gak kuat lihat dia nangis gara-gara aku, aku langsung narik tangannya.

“Saf, kamu pulang aja ! Aku masih sibuk juga beres-beresin barang,” Kata ku tegas tapi di dalam hati ini bener-bener sakit.

“Pulang Jeng? Tapi kan aku masih mauu..” Perkataan Safira aku hentiin sebelum dia ngomong panjang lebar lagi, aku udah bener-bener gak kuat liat Safira.

“Udah-lah Saf. Kamu pualngo aja !” Kata ku sambil membukakannya pintu gerbang rumah ku.

“Iya, Jeng,” Jawabnya sambil meneteskan air mata.

“Dada…” Sapa ku untuk yang terakhir kalinya.

Setelah mendengar aku mengucapakn kata perpisahan itu, Safira melihatku, menatapku dengan penuh keberat hatian untuk melepaskan ku pergi darinya. Lalu aku lihat dia berlari sambil membendung air matanya yang jatuh. Setelah melihat itu, aku langsung berlari menuju kamar ku dan menangis !

“Aku bener-bener gak tau apa yang aku lakuin Saf. Maafin aku iya?” Aku berbicara sendiri di dalam kamar sambil menangis.

“Aku gak kuat kalau harus lihat kamu nangis Saf, gak kuat !” Aku tambah menangis sejadi-jadinya.

Senin, jam 3 sore adalah waktu di mana aku harus meninggalkan Kota Palembang termaksut kenangan-kenangan yang telah terukir dan yang telah terjadi di sini.

Aku melihat perpisahan sahabat-sahabat Mas Dana dan Mas Dika. Mengharukan banget.

“Andai aja kamu ada di sini Saf,” Batinku dalam hati.

Aku dan kedua kakak ku sudah sampai di bandara. Mama sama ayah enggak ikut dulu, soalnya masih ngurusin data-data sama barang-barang yang masih di sini. Waktu aku sudah duduk di bangku pesawat, tiba-tiba aku teringat Safira.

“Selamat tinggal sahabat ku. Semoga kamu mendapatkan sahabat yang lebih baik dari ku. Maafin aku iya, kalau kemarin aku kayak gitu ke kamu Saf. Aku gak bisa lihat kamu harus nangis karena aku,” Ucapku pelan sambil melihat awan di atas sana dan tanpa ku sadari air mata menetes melewati pipi ku.

J Catatan Kecil Dari Penulis <Aliin> J

Ini cerita Real ! Asli banget kejadiannya. Kejadiannya bertepatan pas aku kelas 3 SD di SD IBA Palembang. Eh, pas kenaikan kelas 4 SD deng, pokoknya diantara kelas 3 iya kelas 4 iya. Hehe.. Tau gak? Baca cerpen ini lagi, bikin aku kangen sama sahabatku Safira. Tapi sayang, dia gak nganggep aku lagi sekarang. Boro-boro di anggep ? Di wall ke Facebook aja kagak bales. Pokoknya cerpen ini teruntuk sahabatku kecilku Safira Azahra, sumpah ! aku kangen kamuu……….

Karya :: Alinda Kusumawardani <saya sendiri>